Kamis, 02 Desember 2021

Awardee

 

Juli lalu, saya diberitahu bapak bahwa Kemendikbud membuka program beasiswa unggulan. Sepintas, saya pribadi kurang tertarik. Bukan karena sudah mendapat beasiswa lain, namun seperti biasanya, begitu mengunduh berkas syarat pendaftaran, mood sudah diserang malas terlebih dahulu, alhasil berkas berlalu begitu saja. Mengapa malas? Tidak lain dan tidak bukan adalah persyaratan yang begitu banyak dan rumit, tentunya beberapa di antaranya saya tidak memenuhi.

Beberapa pekan kemudian, awal Agustus, sesuai dengan rencana sebelumnya, saya melanjutkan studi lagi. Setelah melewati serentetan prosedur, diberitahukan bahwa pengumuman kelulusan adalah tanggal 19 Agustus. Saya menunggu dengan sabar.

Namun sekitar tanggal 10 Agustus, bapak kembali mengingatkan, “sudah daftar beasiswa unggulan belum?” Saya menjawab dengan ringan, “syaratnya belum lengkap, pak. Kan, akhir pendaftaran 15 Agustus, sedangkan pengumuman penerimaan baru 19 Agustus.”

Hal ini tidak lepas dari syarat utama beasiswa unggulan, adalah adanya letter of acceptance (LoA) dari perguruan tinggi yang telah menerima kita sebagai mahasiswanya.

Namun, bapak saya kembali menjawab dengan ringan, “unggah saja kartu ujian, pokoknya apapun yang membuktikan kalau kamu benar-benar mau daftar.” Tanpa pikir panjang, saya lakukan arahan bapak.

Beasiswa unggulan (BU) ini cukup unik, karena menurut informasi, dari 3000 pendaftar, sebanyak 1000 orang lolos. Artinya, dari 3 orang, 1 orang diterima. Waw! Sungguh kesempatan yang sangat besar! Tentunya dibandingkan LPDP, dari puluhan ribu pendaftar, hanya kecil persentase yang lolos.

Selain itu, BU ini terbagi ke dalam 4 kategori, yaitu masyarakat berprestasi, masyarakat miskin, penyandang disabilitas, dan pegawai negeri. Tentunya ketiga kategori terakhir, saya tidak termasuk di dalamnya. Saya hanya perlu merasa ‘sok’ berprestasi. Syarat yang tertera adalah minimal memiliki prestasi tingkat kabupaten, dan harus ada sertifikatnya. Sedangkan saya, hanya mengunggah sertifikat lomba selevel kampus dan sebuah foto saya waktu SD, saat mengangkat sertifikat juara 3 lomba renang se-provinsi. Ya, benar, saya mengunggah sebuah foto.

Lucu memang, tapi, tidak ada yang melarang sama sekali untuk mengunggah kedua persyaratan itu. Toh, folder itu menerima file apapun yang kita unggah. Anda pernah juara adzan se-RT, asalkan itu benar, maka buatlah sertifikat bertuliskan tangan, tanda tangan ketua RT, scan lalu unggah, folder pasti menerima. Hanya saja, jangan sekali-kali berpikir untuk berbohong.

Bahkan saya sempat menulis beberapa prestasi saya saat di Pondok pada formulir, yaitu lomba pidato, lomba cerdas cermat, dll. Hanya saja saya urungkan, karena tidak ada sertifikatnya. Mau membuat pun tak sempat.

Sederhananya, serumit apapun itu syarat yang tertera, unggah saja apapun yang anda punya. Selama itu jujur. Saya pribadi yakin, banyak di luar sana yang tidak jadi mendaftar juga, karena tidak bisa memenuhi syarat. Bukan karena tidak memenuhi syarat tepatnya, tapi karena tidak mau mencoba. Kalau banyak yang tak mau berusaha, maka persaingan tak begitu ketat.

Info dari beberapa teman, malam ini beasiswa tersebut sudah diterima oleh para awardee. Selamat, semoga beasiswa itu menjadi pelecut semangat belajar bagi para awardee, dan tentunya, menjadi PR kita bersama agar uang negara tersebut menjadi bermakna.binhadjid

Jumat, 02 Desember 2016

Bagaimana Air Mata ini Tidak Mengalir?

Di sudut sana, ada senyuman manis dari seorang anak kecil dibarengi sodoran bungkusan teh manis. “Ini, kak. Diminum dulu, biar gak haus.” Berjalan beberapa meter, tampak seorang ibu menggendong anak sembari menangis dan mempersilahkan kami mengambil bungkusan nasi yang tertata rapi di atas meja. Di kejauhan sana barisan anak-anak berusia kisaran 8-10 tahun meneriakkan suara yang samar-samar terdengar. Saat kudekati, ternyata mereka meneriakkan takbir, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!”
Hari ini Bandung menyajikan pemandangan yang tidak biasa. Dan pemandangan itu dipersembahkan bagi para mujahid yang berteguh hati mengadakan perjalanan jauh, yang semata-mata untuk membela kitab pedomannya, al-Qur’an. Merekalah para mujahid dari Ciamis. Mujahid yang mengapresiasikan kecintaan terhadap al-Qur’an dengan berjalan kaki dari Ciamis menuju Jakarta. Satu perjalanan yang tentu saja tidak masuk akal bagi manusia normal.
Terlepas dari cemoohan di sana-sini, sekali lagi, cercaan dari berbagai pihak, yang menganggap hal ini adalah suatu pemaksaan yang biadab. Kenapa tidak mereka saja yang mencemooh memberi solusi dengan memfasilitasi kendaraan menuju Jakarta. Toh aksi ini tak akan terjadi jika ada perusahaan bus yang rela melawan aturan dengan menyewakan armadanya. Sekali lagi, tak elok kita memperdebatkan masalah mendasar jika tak tahu asal muasalnya.
Dan sambutan luar biasa dari warga Bandung ini adalah aprsesiasi dukungan bagi para mujahid Ciamis. Bak kaum Anshar yang menyambut para Muhajirin dari Makkah. Memberi makan, minum, pakaian, sandal, dan kebutuhan secukupnya. Bahkan setidaknya jika mampu, hadir di samping jalan, sembari melempar senyum kepada para mujahid dan mengucapkan, “Allahu Akbar”. Bagaimanapun juga, hanya Allah yang pantas membalas jasa-jasa mereka, entah kaum ‘Anshar’, ataupun kaum ‘Muhajirin’.
Melihat peristiwa langka ini di media sosial, rasanya air mata ini tak kuasa untuk ditahan. Kami tak pernah melihat pemandangan seperti sebelumnya. Kalaupun ada, tidak seeksttrem ini, tidak seluarbiasa ini, tidak semenakjubkan ini.
Saya pribadi, merasa malu sangat tak dapat membantu mereka secara langsung. Setidaknya dengan doa dan tumpahan rasa dalam tulisan ini, membuat saya memuaskan diri untuk tidak bermalu sangat kepada mereka yang jauh lebih hebat dalam berkorban bagi Qurannya.binhadjid



Senin, 26 September 2016

Modern adalah Proporsional

Saya mendengar ini dari seorang putra kyai. Satu statemen menarik yang membuat saya ingin menulis. Kemodernan adalah proporsionalitas dalam suatu hal. Saat kita menempatkan sesuatu pada tempatnya, berarti modern. Saat bekerja sesuai aturan, berarti modern. Saat menggunakan pakaian sesuai dengan tempat, berarti modern. Modern adalah berpikiran maju, tidak sempit. Modern adalah berpikir secara profesional dan rasional.
Gontor sangat ahli dalam melakukan hal ini. Disiplin yang diciptakan sangat sistemik. Semua saling berhubungan. Contoh saja dari pakaian, saat olahraga, setiap santri diwajibkan mengenakan kaos, celana training, dan bersepatu. Tentu kita ketahui bersama, orang-orang di Jepang yang sering kita kaitkan dengan budaya modern, berolahraga dengan dress tersebut. Sebaliknya, di Gontor, saat beribadah, seluruh santri diwajibkan mengenakan koko, sarung, gesper, peci, dan sajadah. Satu tanda bahwa pendidikan modern sudah ditanamkan sejak dini.
Pun dengan kegiatan yang begitu padat. Di Gontor, dibiasakan dengan kesibukan padat. Mengapa demikian? Karena hal tersebut adalah pendidikan penting. Tak perlu ada seminar cara membagi waktu, namun cukup dengan menenggelamkan para santri dalam kesibukan. Seperti halnya gravitasi, tinggal mendorongnya jatuh ia akan berlari cepat ke arah tanah. Maka para santri dibiarkan saja dalam kesibukan, mereka akan belajar membagi waktu, mencari cara agar semua terpenuhi, berpikir cerdas menata diri, dan yang terpenting, adalah tenang dalam kesempitan. Seperti motto anak pramuka, bersiul dalam badai.
Satu hal lagi, saat beberapa waktu lalu saya menemani tamu dari luar negeri, setelah Maghrib saya ajak mereka berkeliling Pondok. Sekilas di mata saya, tak tampak hal menarik, semuanya berjalan rutin begitu saja. Namun saat itu, para tamu berkilah, “Para santri tampak sibuk sekali ya, tak ada satupun yang menganggur.” Tamu lain menambahi, “ Iya, seperti orang Jepang saja.”
Komentar tamu ini cukup menyentak saya. Memang benar. Karena terlalu biasa, sehingga hal luar biasa di mata tampak semu. Setelah Maghrib tak ada satu pun anak yang menganggur, duduk-duduk di depan asrama. Dari anak paling kecil sampai paling besar, tenggelam dalam kesibukan. Ada yang ingin ke dapur, ada yang ingin ke kantor Administrasi, hingga hal paling sepele, ke koperasi membeli sabun. Namun setidaknya semua kegiatan tersebut telah direncanakan. Dalam satu waktu kosong tersebut, beberapa kebutuhan harus terpenuhi. Ke koperasi dulu, kemudian makan, dan mengambil papan nama di Bagian Keamanan. Tiga hal ini harus dibagi waktunya dengan cermat dan cerdas.

Maka label modern di Pondok tak sekedar pajangan di nama depan Gontor. Namun benar-benar menjadi jiwa dan nafas. Satu falsafah yang mendarah daging dalam diri para santrinya, yang nantinya akan berguna baginya di masa mendatang.binhadjid

Kamis, 03 Maret 2016

Mari Menulis!

Belajar menulis berarti belajar berpikir. Belajar menulis berarti belajar merenung. Belajar menulis berarti belajar mengerti sesuatu. Belajar menulis berarti kembali hidup. Belajar menulis berarti menjauhi kematian. Belajar menulis berarti hebat. Belajar menulis, berarti membuat hidup menjadi berarti.
Setiap gerakan jari yang membentuk sinyal-sinyal huruf dapat mengubah dunia dalam tempo cepat. Pemikiran-pemikiran ulung dan konsep-konsep mendasar, dapat menjadi dasar revolusi sebuah bangsa. Banyak peperangan berawal hanya dari sebuah ucapan, dan banyak tulisan yang dapat membuat sebuah negara tak melupakan jasa para pahlawannya.
Itulah mengapa Pandai Tulis sangat dihormati pada masanya. Menulis puisi bagi dewasa ini adalah hal sepele, namun menjadi hal fenomenal di masa orang tak tahu apa itu pena dan kertas.
Huruf-huruf yang masih terpisah tak bermakna tanpa diikat dalam sebuah kata. Sebuah kata tak dapat dipahami tanpa dilengkapi dengan kata-kata lainnya. Dan kalimat-kalimat itu tak akan memiliki keampuhan tanpa disusun secara tertib sehingga menghasilkan sebuah taste yang klimaks.

Dan di tangan anak manusialah, huruf hingga kalimat itu dapat disusun. Anak manusia itu biasa disebut dengan penulis. Maka, marilah menulis.binhadjid

Kamis, 05 November 2015

Opera Bento di 'Bukan PG Biasa'

Bento, diperankan oleh Muhammad Ihsan
Di pertengahan masa latihan menuju ‘Bukan PG Biasa’, ada satu acara tambahan yang diamanatkan pada saya. Acara baru ini tergolong unik. Acara ini membutuhkan kemampuan vokal, drama, dan koreografi di saat bersamaan. Yang saya maksud di sini, adalah Opera.
Kami mengemas Opera dalam ‘Bukan PG Biasa’ kali ini dengan judul ‘Alangkah Lucunya Negeri Bento’. Sepintas, memang terdengar seperti film ‘Alangkah Lucunya Negeri ini’ yang tampil di layar lebar beberapa tahun lalu. Namun, sebenarnya, isinya jauh berbeda, hanya misi saja yang berdekatan.
Opera ini berkisah tentang perjuangan sekawanan anak SD bersama gurunya dalam mempertahankan bangunan sekolahnya yang akan digusur. Untuk memenuhi ekpektasi, pemeran kesepuluh anak SD ini haruslah mempunyai kemampuan akting dan vokal. Cukup sulit mendapatkan para pemeran dengan kemampuan yang diinginkan, harus gerilya hingga ke akar-akar. Kami yakin, potensi itu ada.
Akhirnya, kami mendapatkan Rafif dan Ahmad. Dua bocah kelas 2 dengan suara oktaf tinggi, ditambah 8 anak lainnya yang memiliki vokal baik. Untuk aktor utama, karakter yang diinginkan adalah seorang guru, jadi pemeran harus dapat menyanyi sekaligus memerankan karakter guru. Kami memilih Fahmi Dwi Tarwanto, anak kelas 6 dengan perawakan dewasa, suara syahdu, dan kemampuan akting di atas rata-rata.
Nah, ada satu pos peran yang sangat sulit untuk memilih pemerannya. Yakni menjadi ‘Bento’, alias si bos perusahaan yang memimpin pengusiran sekolah. Beruntung kami menemukan talenta dalam diri seorang vokalis Nasyid, namanya Ihsan. Anak kelas 6 ini memiliki karakter yang terbilang unik. Bagaimana tidak, gaya bicara dan berjalan yang linglung, terkesan ngawur, sembrono, dan tak tahu aturan. Dalam dunia nyata, anak ini memang jarang memiliki kawan. Namun dalam dunia akting, ternyata bocah ini mampu memenuhi harapan.
Pak Guru, diperankan oleh Fahmi Dwi
Usai penggusuran ilegal oleh Bento dan komplotannya, cerita berlanjut dengan selebrasi Bento atas kesuksesannya menggusur sekolah. Namun, tak lama kemudian, ia ditangkap polisi. Di dalam penjara, ia bertemu dengan Joko, seorang petani yang dijebloskan ke bui karena mencuri tebu. Tak berselang lama, Bento dapat lolos dari penjara karena polisi penjaga dapat dengan mudahnya disuap. Saat lolos, ia menjadi gelandangan karena seluruh asetnya telah disita negara. Opera diakhiri dengan situasi masuk kelas yang kembali normal usai penggusuran.
Sepintas, cerita dalam Opera ini biasa saja. Namun, yang menjadi ruh dalam Opera ini, adalah iringan musik organ live. Beruntung kami mendapat servis dari salah seorang anak kelas 4, namanya Arkan. Kemampuan luar biasanya dalam memainkan organ, membuat Opera menjadi sangat hidup. Ada beberapa lagu masyhur yang dinyanyikan, seperti ‘Dunia Berputar’ (Sherina), ‘Tak ada yang Abadi’ (Peterpan), ‘Bento’ dan ‘Surat untuk Wakil Rakyat’ (Iwan Fals), ‘Melayang’ (Dams Family), dan ‘Kertaradjasa’ (Djaduk). Adapun beberapa lagu sisanya, adalah karangan sendiri.

Dengan kisah unik, aktor-aktor mumpuni, tata busana lengkap, tata rias memadai, tata panggung profesional, serta diiringi musik live, membuat para penonton begitu tertarik dengan Opera di ‘Bukan PG Biasa’ ini. Lucu, mengesankan, menghibur, syahdu, asyik, dan baru, itulah komentar para penonton usai acara.binhadjid   

Senin, 19 Oktober 2015

Puisi "Jaka" di 'Bukan PG Biasa'

Sulthan Adam, Putra, Dhiyaul Fikri, Ibnu Rusyd, dan Mahbub
sesaat sebelum penampilan.
Saya pribadi, bersama seorang kawan dari Pembimbing Kelas 6, sudah bercita-cita sejak dulu, 3 hingga 4 tahun yang lalu bahkan, bahwa untuk PG kelas 690 mendatang, puisi yang ditampilkan adalah puisi gubahan Emha Ainun Najib dengan penyajian khas Kiai Kanjeng.
Tanpa berpikir panjang, kami merujuk pada banyak pementasan Kiai Kanjeng, puisi Emha, hingga syair-syair yang diunggah dalam internet.
Dalam 'Bukan PG Biasa' kali ini, kami mengangkat sosok ilustrasi bernama "Jaka". Maksud kami di awal, hanyalah mengikuti pementasan puisi monolog yang ditampilkan di youtube dengan judul "WS Rendra Pesan Pencopet pada Pacarnya". Dalam penampilan yang cukup mengundang decak kagum penonton tersebut, ada satu tokoh ilustrasi yang selalu disebut-sebut oleh si pembaca puisi, yaitu tokoh "Siti". Nah, menurut kami, yang menghidupkan puisi monolog orang tersebut adalah adanya lawan bicara khayal. 
Inilah yang menginspirasi kami untuk memunculkan tokoh khayal dalam pementasan puisi 'Bukan PG Biasa' kali ini. Karena aliran puisi dialirkan pada kondisi konflik internal dalam tubuh pemerintahan Indonesia, maka tokoh yang dipilih haruslah memiliki nama khas orang Indonesia. Sejenak terbesit nama Sri, Paijo, Joko, hingga nama Budi, yang pasti, nama tersebut asli dari bahasa Indonesia atau Sansekerta, bukan serapan bahasa Arab. Usai berdiskusi panjang, kami memilih nama "Joko". Namun, beberapa kali kami berlatih menggunakan nama ini untuk menyindir keadaan bangsa ini, kok selalu saja arah puisi kami jadi mengalir kepada Pak Presiden yang kebetulan memiliki nama yang sama. 
Jujur, kami tak bermaksud sama sekali untuk mengambil langkah oposisi dari pemerintahan saat ini. Kalaupun saat ini presidennya SBY, Suharto, ataupun Habibie, toh kami tetap akan mengkritisi kondisi parah negeri ini. Agar tak menimbulkan benturan dengan pihak manapun, maka kami ubah sedikit tokoh ilustrasi tersebut, yaitu menjadi "Jaka".
Ada 5 pembaca puisi pada 'Bukan PG Biasa' ini. Yaitu Mahbub dan Ibnu Rusyd yang sejak kelas 5 kemarin sudah tampil di Drama Arena, Dhiyaul Fikri, anak kelas 6 yang baru masuk di PG ini, serta Putra dan Sulthan Adam yang masih duduk di Kelas 2 dan 3. Khusus untuk Putra, kami sangat beruntung mendapatkan bakat sehebat anak yang satu ini. Tubuh mungil, tampang cute, perawakan bocah, mimik yang bisa diubah dalam kondisi apa saja, dan satu lagi, yang kami sangat bersyukur bisa mendapatkan servis bocah ini, yaitu suara 'serak-serak basah'. Bakat suara ini membuat kalimat apapun yang keluar dari mulut bocah ini terdengar syahdu, merdu, dan mengena di hati.
Puisi diawali dengan gambaran keindahan Indonesia masa dulu, dibacakan oleh Putra berduet dengan Sulthan Adam. Puisi ini diiringi dengan alunan gamelan yang memainkan lagu-lagu khas Indonesia. Dilanjutkan dengan Dhiyaul Fikri yang membacakan puisi monolog mirip si pembaca pada "Pesan Pencopet pada Pacarnya". Otomatis puisi ini tanpa iringan lagu apapun.
Puncak puisi kali ini adalah pada puisi Mahbub dan Ibnu. Dua anak ini mengkritik keras pemerintah lewat sajak-sajak Emha Ainun Najib yang digabung dengan puisi buatan mereka sendiri. Untuk menambah efek 'seram', gamelan pun mengiringi dengan nada 'horor'.  
Nah, di saat kondisi memuncak, Putra, dengan suara syahdunya berteriak menghentikan hujatan-hujatan Mahbub dan Ibnu. Penghentian ini juga diikuti dengan berhentinya gamelan. Jadilah panggung dan seisinya vakum, penonton juga tersentak, semua mata tertuju pada Putra. Dalam kondisi 'vacuum of power' itu, Putra melanjutkan beberapa lirik yang menjadi intisari dari keseluruhan puisi ini.
Penampilan Putra dalam puisi ini mendapatkan banyak pujian.
Alhamdulillah, dengan beberapa gebrakan dalam penyajian puisi dalam 'Bukan PG Biasa' ini, dewan juri dan penonton memberikan apresiasi yang luar biasa. Tepuk tangan riuh dari para penonton sepanjang penampilan, dan di akhir acara, juri mengganjar acara puisi ini dengan nilai "10" tanpa cacat.
Ini tak lain dan tak bukan, berkat konsep yang sudah dicita-citakan bertahun-tahun sebelumnya. Yaitu konsep gamelan yang diletakkan di tengah-tengah panggung. Meski sulit, namun akhirnya dapat dilakukan. Secara pribadi, saya ucapkan terima kasih pada kawan Ahmad Badruttamam yang telah memberi banyak sekali ide dan masukan untuk puisi kali ini.binhadjid

Jumat, 16 Oktober 2015

Persiapan Matang di 'Bukan PG Biasa'

Sudah lama sekali tak menulis di blog ini, makanya tangan saya ini terasa gatal.
Sejatinya, semenjak lebaran kemarin ada begitu banyak hal yang ingin ditumpahkan di blog ini. Entah perasaan bahagia, sedih, penat, hingga euforia dan atmosfir di beberapa situasi, rasanya amat sayang jika tidak 'diabadikan' dalam blog ini.
Dari keseluruhan pengalaman akhir-akhir ini, yang sepertinya paling sayang kalau dilewatkan adalah pengalaman menjadi pembimbing siswa akhir KMI di Panggung Gembira.
Subhanallah, ternyata hal tersebut bukanlah perkara mudah. Untuk mewujudnyatakan slogan kami, "Bukan Panggung Gembira Biasa", maka harus ada effort yang lebih untuk mencapai cita-cita tersebut. Dan itu semua sudah kami fikirkan matang semenjak bulan Ramadhan, sebagian acara sudah didapatkan konsepnya sejak setengah tahun sebelumnya. Ada juga beberapa acara yang sudah mulai diraba sejak setahun atau dua tahun sebelumnya. Bahkan, percaya atau tidak, ada juga acara yang konsepnya sudah dicita-citakan semenjak 4 tahun sebelumnya.
Maka tidak aneh jika rundown acara sudah bisa print out jauh sebelum latihan itu dimulai. Ada 60 acara lebih yang kami susun, hampir dari seluruh acara tersebut adalah murni dari hasil pemikiran anak-anak tim inti Panggung Gembira.
Karena persiapan sejak awal sudah matang, maka tak ayal, kami memiliki begitu banyak variasi acara untuk PG kali ini. Saat gladi pertama saja, baru dua pertiga acara ditampilkan, waktu sudah tak mencukupi. Akhirnya dengan pemikiran mendalam, kami berhasil menyisihkan beberapa acara yang tak layak tampil.
Dalam perjalanannya pun, latihan PG harus menemui banyak sekali rintangan. Para pembimbing yang disibukkan di kepanitiaan Wisuda, LP3, dan PKA, serta kesibukan di bagian masing-masing. Pun juga dengan siswa akhir KMI, yang jauh lebih sibuk di kepanitiaan-kepanitiaan tersebut.
Kami melakukan 6 kali gladi, dengan masa latihan 50 hari. Namun jika dikurangi dengan beberapa hari yang bertabrakan aktivitas Pondok, maka 'netto'nya hanya sekitar 30 hari.
Alhamdulillah, berkat persiapan panjang dan perhitungan matang yang saya beberkan di atas tadi, serta konsep yang sudah ada sejak jauh-jauh hari, Panggung Gembira kali ini mengundang decak kagum dari ribuan penonton yang hadir. Tentang acara, pelaksanaan acara di hari H serta gebrakan-gebrakan lainnya, akan saya tuangkan dalam tulisan di bagian lainnya.binhadjid