Senin, 26 September 2016

Modern adalah Proporsional

Saya mendengar ini dari seorang putra kyai. Satu statemen menarik yang membuat saya ingin menulis. Kemodernan adalah proporsionalitas dalam suatu hal. Saat kita menempatkan sesuatu pada tempatnya, berarti modern. Saat bekerja sesuai aturan, berarti modern. Saat menggunakan pakaian sesuai dengan tempat, berarti modern. Modern adalah berpikiran maju, tidak sempit. Modern adalah berpikir secara profesional dan rasional.
Gontor sangat ahli dalam melakukan hal ini. Disiplin yang diciptakan sangat sistemik. Semua saling berhubungan. Contoh saja dari pakaian, saat olahraga, setiap santri diwajibkan mengenakan kaos, celana training, dan bersepatu. Tentu kita ketahui bersama, orang-orang di Jepang yang sering kita kaitkan dengan budaya modern, berolahraga dengan dress tersebut. Sebaliknya, di Gontor, saat beribadah, seluruh santri diwajibkan mengenakan koko, sarung, gesper, peci, dan sajadah. Satu tanda bahwa pendidikan modern sudah ditanamkan sejak dini.
Pun dengan kegiatan yang begitu padat. Di Gontor, dibiasakan dengan kesibukan padat. Mengapa demikian? Karena hal tersebut adalah pendidikan penting. Tak perlu ada seminar cara membagi waktu, namun cukup dengan menenggelamkan para santri dalam kesibukan. Seperti halnya gravitasi, tinggal mendorongnya jatuh ia akan berlari cepat ke arah tanah. Maka para santri dibiarkan saja dalam kesibukan, mereka akan belajar membagi waktu, mencari cara agar semua terpenuhi, berpikir cerdas menata diri, dan yang terpenting, adalah tenang dalam kesempitan. Seperti motto anak pramuka, bersiul dalam badai.
Satu hal lagi, saat beberapa waktu lalu saya menemani tamu dari luar negeri, setelah Maghrib saya ajak mereka berkeliling Pondok. Sekilas di mata saya, tak tampak hal menarik, semuanya berjalan rutin begitu saja. Namun saat itu, para tamu berkilah, “Para santri tampak sibuk sekali ya, tak ada satupun yang menganggur.” Tamu lain menambahi, “ Iya, seperti orang Jepang saja.”
Komentar tamu ini cukup menyentak saya. Memang benar. Karena terlalu biasa, sehingga hal luar biasa di mata tampak semu. Setelah Maghrib tak ada satu pun anak yang menganggur, duduk-duduk di depan asrama. Dari anak paling kecil sampai paling besar, tenggelam dalam kesibukan. Ada yang ingin ke dapur, ada yang ingin ke kantor Administrasi, hingga hal paling sepele, ke koperasi membeli sabun. Namun setidaknya semua kegiatan tersebut telah direncanakan. Dalam satu waktu kosong tersebut, beberapa kebutuhan harus terpenuhi. Ke koperasi dulu, kemudian makan, dan mengambil papan nama di Bagian Keamanan. Tiga hal ini harus dibagi waktunya dengan cermat dan cerdas.

Maka label modern di Pondok tak sekedar pajangan di nama depan Gontor. Namun benar-benar menjadi jiwa dan nafas. Satu falsafah yang mendarah daging dalam diri para santrinya, yang nantinya akan berguna baginya di masa mendatang.binhadjid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar