Saya mendengar ini dari seorang putra kyai. Satu statemen
menarik yang membuat saya ingin menulis. Kemodernan adalah proporsionalitas
dalam suatu hal. Saat kita menempatkan sesuatu pada tempatnya, berarti modern. Saat
bekerja sesuai aturan, berarti modern. Saat menggunakan pakaian sesuai dengan tempat,
berarti modern. Modern adalah berpikiran maju, tidak sempit. Modern adalah
berpikir secara profesional dan rasional.
Gontor sangat ahli dalam melakukan hal ini. Disiplin yang
diciptakan sangat sistemik. Semua saling berhubungan. Contoh saja dari pakaian,
saat olahraga, setiap santri diwajibkan mengenakan kaos, celana training, dan
bersepatu. Tentu kita ketahui bersama, orang-orang di Jepang yang sering kita
kaitkan dengan budaya modern, berolahraga dengan dress tersebut. Sebaliknya,
di Gontor, saat beribadah, seluruh santri diwajibkan mengenakan koko, sarung,
gesper, peci, dan sajadah. Satu tanda bahwa pendidikan modern sudah ditanamkan
sejak dini.
Pun dengan kegiatan yang begitu padat. Di Gontor, dibiasakan
dengan kesibukan padat. Mengapa demikian? Karena hal tersebut adalah pendidikan
penting. Tak perlu ada seminar cara membagi waktu, namun cukup dengan
menenggelamkan para santri dalam kesibukan. Seperti halnya gravitasi, tinggal
mendorongnya jatuh ia akan berlari cepat ke arah tanah. Maka para santri
dibiarkan saja dalam kesibukan, mereka akan belajar membagi waktu, mencari cara
agar semua terpenuhi, berpikir cerdas menata diri, dan yang terpenting, adalah
tenang dalam kesempitan. Seperti motto anak pramuka, bersiul dalam badai.
Satu hal lagi, saat beberapa waktu lalu saya menemani tamu
dari luar negeri, setelah Maghrib saya ajak mereka berkeliling Pondok. Sekilas di
mata saya, tak tampak hal menarik, semuanya berjalan rutin begitu saja. Namun saat
itu, para tamu berkilah, “Para santri tampak sibuk sekali ya, tak ada satupun
yang menganggur.” Tamu lain menambahi, “ Iya, seperti orang Jepang saja.”
Komentar tamu ini cukup menyentak saya. Memang benar.
Karena terlalu biasa, sehingga hal luar biasa di mata tampak semu. Setelah Maghrib
tak ada satu pun anak yang menganggur, duduk-duduk di depan asrama. Dari anak
paling kecil sampai paling besar, tenggelam dalam kesibukan. Ada yang ingin ke
dapur, ada yang ingin ke kantor Administrasi, hingga hal paling sepele, ke
koperasi membeli sabun. Namun setidaknya semua kegiatan tersebut telah
direncanakan. Dalam satu waktu kosong tersebut, beberapa kebutuhan harus
terpenuhi. Ke koperasi dulu, kemudian makan, dan mengambil papan nama di Bagian
Keamanan. Tiga hal ini harus dibagi waktunya dengan cermat dan cerdas.
Maka label modern di Pondok tak sekedar pajangan di nama
depan Gontor. Namun benar-benar menjadi jiwa dan nafas. Satu falsafah yang
mendarah daging dalam diri para santrinya, yang nantinya akan berguna baginya
di masa mendatang.binhadjid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar