Senin, 19 Oktober 2015

Puisi "Jaka" di 'Bukan PG Biasa'

Sulthan Adam, Putra, Dhiyaul Fikri, Ibnu Rusyd, dan Mahbub
sesaat sebelum penampilan.
Saya pribadi, bersama seorang kawan dari Pembimbing Kelas 6, sudah bercita-cita sejak dulu, 3 hingga 4 tahun yang lalu bahkan, bahwa untuk PG kelas 690 mendatang, puisi yang ditampilkan adalah puisi gubahan Emha Ainun Najib dengan penyajian khas Kiai Kanjeng.
Tanpa berpikir panjang, kami merujuk pada banyak pementasan Kiai Kanjeng, puisi Emha, hingga syair-syair yang diunggah dalam internet.
Dalam 'Bukan PG Biasa' kali ini, kami mengangkat sosok ilustrasi bernama "Jaka". Maksud kami di awal, hanyalah mengikuti pementasan puisi monolog yang ditampilkan di youtube dengan judul "WS Rendra Pesan Pencopet pada Pacarnya". Dalam penampilan yang cukup mengundang decak kagum penonton tersebut, ada satu tokoh ilustrasi yang selalu disebut-sebut oleh si pembaca puisi, yaitu tokoh "Siti". Nah, menurut kami, yang menghidupkan puisi monolog orang tersebut adalah adanya lawan bicara khayal. 
Inilah yang menginspirasi kami untuk memunculkan tokoh khayal dalam pementasan puisi 'Bukan PG Biasa' kali ini. Karena aliran puisi dialirkan pada kondisi konflik internal dalam tubuh pemerintahan Indonesia, maka tokoh yang dipilih haruslah memiliki nama khas orang Indonesia. Sejenak terbesit nama Sri, Paijo, Joko, hingga nama Budi, yang pasti, nama tersebut asli dari bahasa Indonesia atau Sansekerta, bukan serapan bahasa Arab. Usai berdiskusi panjang, kami memilih nama "Joko". Namun, beberapa kali kami berlatih menggunakan nama ini untuk menyindir keadaan bangsa ini, kok selalu saja arah puisi kami jadi mengalir kepada Pak Presiden yang kebetulan memiliki nama yang sama. 
Jujur, kami tak bermaksud sama sekali untuk mengambil langkah oposisi dari pemerintahan saat ini. Kalaupun saat ini presidennya SBY, Suharto, ataupun Habibie, toh kami tetap akan mengkritisi kondisi parah negeri ini. Agar tak menimbulkan benturan dengan pihak manapun, maka kami ubah sedikit tokoh ilustrasi tersebut, yaitu menjadi "Jaka".
Ada 5 pembaca puisi pada 'Bukan PG Biasa' ini. Yaitu Mahbub dan Ibnu Rusyd yang sejak kelas 5 kemarin sudah tampil di Drama Arena, Dhiyaul Fikri, anak kelas 6 yang baru masuk di PG ini, serta Putra dan Sulthan Adam yang masih duduk di Kelas 2 dan 3. Khusus untuk Putra, kami sangat beruntung mendapatkan bakat sehebat anak yang satu ini. Tubuh mungil, tampang cute, perawakan bocah, mimik yang bisa diubah dalam kondisi apa saja, dan satu lagi, yang kami sangat bersyukur bisa mendapatkan servis bocah ini, yaitu suara 'serak-serak basah'. Bakat suara ini membuat kalimat apapun yang keluar dari mulut bocah ini terdengar syahdu, merdu, dan mengena di hati.
Puisi diawali dengan gambaran keindahan Indonesia masa dulu, dibacakan oleh Putra berduet dengan Sulthan Adam. Puisi ini diiringi dengan alunan gamelan yang memainkan lagu-lagu khas Indonesia. Dilanjutkan dengan Dhiyaul Fikri yang membacakan puisi monolog mirip si pembaca pada "Pesan Pencopet pada Pacarnya". Otomatis puisi ini tanpa iringan lagu apapun.
Puncak puisi kali ini adalah pada puisi Mahbub dan Ibnu. Dua anak ini mengkritik keras pemerintah lewat sajak-sajak Emha Ainun Najib yang digabung dengan puisi buatan mereka sendiri. Untuk menambah efek 'seram', gamelan pun mengiringi dengan nada 'horor'.  
Nah, di saat kondisi memuncak, Putra, dengan suara syahdunya berteriak menghentikan hujatan-hujatan Mahbub dan Ibnu. Penghentian ini juga diikuti dengan berhentinya gamelan. Jadilah panggung dan seisinya vakum, penonton juga tersentak, semua mata tertuju pada Putra. Dalam kondisi 'vacuum of power' itu, Putra melanjutkan beberapa lirik yang menjadi intisari dari keseluruhan puisi ini.
Penampilan Putra dalam puisi ini mendapatkan banyak pujian.
Alhamdulillah, dengan beberapa gebrakan dalam penyajian puisi dalam 'Bukan PG Biasa' ini, dewan juri dan penonton memberikan apresiasi yang luar biasa. Tepuk tangan riuh dari para penonton sepanjang penampilan, dan di akhir acara, juri mengganjar acara puisi ini dengan nilai "10" tanpa cacat.
Ini tak lain dan tak bukan, berkat konsep yang sudah dicita-citakan bertahun-tahun sebelumnya. Yaitu konsep gamelan yang diletakkan di tengah-tengah panggung. Meski sulit, namun akhirnya dapat dilakukan. Secara pribadi, saya ucapkan terima kasih pada kawan Ahmad Badruttamam yang telah memberi banyak sekali ide dan masukan untuk puisi kali ini.binhadjid

1 komentar: