Jumat, 16 Januari 2015

Telak

Siang kemarin kami belajar banyak dari Kiai kami. Tampaknya, label kebesaran nama pesantren kami banyak membuat kami lalai. Acapkali melihat santri dari pesantren lain, kami merasa ‘lebih’ dari mereka. Entah dari segi kualitas, mental ataupun keilmuan. Apalagi jika melirik ke pesantren-pesantren tradisional, kami selalu saja merasa lebih pandai, lebih modern, atau apalah, yang jelas penyakit ‘merasa lebih’ itu selalu ada.
“Jangan sombong! Merasa lebih itu adalah penyakit iblis. Ana khairun minhu, itu yang diucapkan iblis saat disuruh menyembah Adam.”
Jadi, jika saat ini ada orang mengatakan ‘saya lebih baik’, maka dia telah terjangkit virus iblis, dan harus segera diberikan pertolongan pertama.
Ada tiga pertanyaan yang disodorkan kepada kami siang itu. Tiga pertanyaan yang menyentak kami, menggertak sekaligus membuat kami malu.
“Apakah orang yang hadir di ruangan ini, ada 30 persen yang sudah memahami seluruh isi Qur’an?”
Salah seorang guru senior menjawab, “tidak sampai.”
Kiai menimpali, “jika 20 persen?”
“Belum sampai.”
“Lantas, apa hanya 10 persen?”
“Kira-kira.”
Padahal, hadirin munasabah itu lebih dari 400 orang. Ada yang bertitel doktor, magister, sarjana dan sebagian besar merupakan mahasiswa reguler.
Tak hanya itu, Kiai melanjutkan pertanyaan kedua dan ketiga dengan cara yang sama.
“Apakah orang yang hadir di ruangan ini, ada 30 persen yang sudah khatam membaca bulughul maram?”
Jawaban guru senior tadi pun sama. Kami pun semakin merasa malu.
Pertanyaan ketiga, ““apakah orang yang hadir di ruangan ini, ada 30 persen yang sudah khatam membaca kitab-kitab nahwu semacam alfiyah, ajrumiyah atau kitab lainnya?”
Untuk ketiga kalinya sang guru senior menjawab dengan jawaban yang sama. Kami, terutama mahasiswa yang menjurus ke bahasa Arab, tentunya paling malu.
Lantas, apa yang bisa kita banggakan? Tiga pertanyaan tadi adalah pertanyaan mendasar mencakup keilmuan dasar atau kelebihan yang seharusnya dimiliki oleh seorang santri.
Jika ia belajar di pondok tahfidz, maka seharusnya para santri lebih memahami isi Qur’an. Jika pondok salaf, maka buku-buku Nahwu macam Ajrumiyah atau Alfiyah adalah konsumsi sehari-hari. Juga buku bulughul maram, sahih bukhari atau kitab lainnya, tentunya santri di pondok salaf lebih tahu dan lebih menguasai.
Pantaskah kita disebut seorang santri? Setiap individulah yang berhak menjawabnya. Namun, minimal, dengan tiga pertanyaan tadi, kita menjadi lebih tahu, sampai di mana kadar keilmuan kita. binhadjid


Tidak ada komentar:

Posting Komentar