Siang kemarin kami belajar banyak dari Kiai kami. Tampaknya,
label kebesaran nama pesantren kami banyak membuat kami lalai. Acapkali melihat
santri dari pesantren lain, kami merasa ‘lebih’ dari mereka. Entah dari segi
kualitas, mental ataupun keilmuan. Apalagi jika melirik ke pesantren-pesantren
tradisional, kami selalu saja merasa lebih pandai, lebih modern, atau apalah,
yang jelas penyakit ‘merasa lebih’ itu selalu ada.
“Jangan sombong! Merasa lebih itu adalah penyakit iblis. Ana
khairun minhu, itu yang diucapkan iblis saat disuruh menyembah Adam.”
Jadi, jika saat ini ada orang mengatakan ‘saya lebih baik’,
maka dia telah terjangkit virus iblis, dan harus segera diberikan pertolongan
pertama.
Ada tiga pertanyaan yang disodorkan kepada kami siang itu.
Tiga pertanyaan yang menyentak kami, menggertak sekaligus membuat kami malu.
“Apakah orang yang hadir di ruangan ini, ada 30 persen yang
sudah memahami seluruh isi Qur’an?”
Salah seorang guru senior menjawab, “tidak sampai.”
Kiai menimpali, “jika 20 persen?”
“Belum sampai.”
“Lantas, apa hanya 10 persen?”
“Kira-kira.”
Padahal, hadirin munasabah itu lebih dari 400 orang.
Ada yang bertitel doktor, magister, sarjana dan sebagian besar merupakan
mahasiswa reguler.
Tak hanya itu, Kiai melanjutkan pertanyaan kedua dan ketiga
dengan cara yang sama.
“Apakah orang yang hadir di ruangan ini, ada 30 persen yang
sudah khatam membaca bulughul maram?”
Jawaban guru senior tadi pun sama. Kami pun semakin merasa
malu.
Pertanyaan ketiga, ““apakah orang yang hadir di ruangan ini,
ada 30 persen yang sudah khatam membaca kitab-kitab nahwu semacam alfiyah,
ajrumiyah atau kitab lainnya?”
Untuk ketiga kalinya sang guru senior menjawab dengan
jawaban yang sama. Kami, terutama mahasiswa yang menjurus ke bahasa Arab,
tentunya paling malu.
Lantas, apa yang bisa kita banggakan? Tiga pertanyaan tadi
adalah pertanyaan mendasar mencakup keilmuan dasar atau kelebihan yang
seharusnya dimiliki oleh seorang santri.
Jika ia belajar di pondok tahfidz, maka seharusnya
para santri lebih memahami isi Qur’an. Jika pondok salaf, maka buku-buku Nahwu
macam Ajrumiyah atau Alfiyah adalah konsumsi sehari-hari. Juga
buku bulughul maram, sahih bukhari atau kitab lainnya, tentunya
santri di pondok salaf lebih tahu dan lebih menguasai.
Pantaskah kita disebut seorang santri? Setiap individulah
yang berhak menjawabnya. Namun, minimal, dengan tiga pertanyaan tadi, kita
menjadi lebih tahu, sampai di mana kadar keilmuan kita. binhadjid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar