(Resensi “Nyatanya Tanah Surga” – Bagian 3/Selesai)
Tak hanya cita-cita tinggi sang Kiai yang menjadi daya tarik
novel ini. Namun kisah kocak Yusron dan Agus saat berpetualang ke Malaysia.
Apalagi dengan kehadiran sosok Masau Dito, si remaja tanggung yang merupakan
lulusan cumlaude Fakultas Teknik UGM Jogja. Meski berkepribadian serba ‘masa
bodoh’, namun Dito adalah orang yang berprinsip, terutama terhadap nasehat
ibunya, “Jadilah orang yang berguna orang banyak.”
Nah, nasehat ibu Dito inilah yang membuat Dito
tertarik dan mau bergabung dalam petualangan road to Malaysia. Ini semua
karena nasehat tersebut sama persis dengan konsep Khoirunnas anfa’uhum
linnas yang diajarkan oleh Agus.
Selain Dito, kisah perjalanan tersebut juga dibumbui dengan
pertemuan Yusron dengan Ustadzah Hasna. Hingga akhirnya Yusron berkesempatan
mampir ke pondok Lik Sholah, paman Ustadzah Hasna. Sayang, kisah cinta kocak
tersebut hanya berakhir dengan secarik surat dari Ustadzah Hasna kepada Yusron.
Ini karena memang kedua pihak sama-sama mempunyai background agama yang
baik.
Tentang Malaysia, novel ini menceritakan suasana, kemajuan
dan kemodernan yang ada di Kuala Lumpur International Airport dan Kota
Pemerintahan Putrajaya. Hal ini dikarena petuangan Yusron, Agus dan Dito
melewati kawasan tersebut. Ada juga cerita tentang menginap di Sangri-La Hotel
dan makan siang di Troika Sky Dining yang terletak di Menara KLCC lantai 22.
Dengan kisah inspiratif, humor hingga kisah petualangan yang
disajikan, membuat Novel Nyatanya Tanah Surga menjadi bacaan wajib bagi
generasi muda yang ingin berbuat “sesuatu” bagi kemajuan bangsa ini. binhadjid
lanjtkan!
BalasHapus