Senin, 29 Desember 2014

Genta Jam Satu Siang

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, ‘Genta’ diartikan semacam alat bunyi-bunyian atau lonceng. Arti di kamus tersebut seringkali hanya ditafsirkan sebagai suara penanda dengan perangkat listrik sekali tekan akan berbunyi, seperti halnya di sekolah-sekolah modern ataupun kawasan pekerjaan umum. Pesantren kami menyebutnya dengan jaros.
Namun, walau jaros diletakkan di tempat umum, tak ada seorang pun santri yang berani menyentuhnya kecuali yang bertugas. Seakan ada aura tersendiri saat kita berpapasan dengan jaros yang tergantung di jalanan umum, karena memang jaros tersebut memiliki nilai kesakralan tersendiri. Jika suatu saat berbunyi tak pada waktunya, para punggawa pesantren kami akan bertanya-tanya, penegak disiplin akan meneliti, hingga pada akhirnya, pelakunya akan mendapat hukuman setimpal.
Dari sekian banyak jaros yang menggema, ada dua waktu jaros yang unik untuk dibahas. Salah satu jaros ini mengakibatkan density (kepadatan) menjadi vacuum (kekosongan). Dan sebaliknya, genta yang satu lagi mengakibatkan vacuum menjadi density.
Tiap hari menjelang jamaah shalat Maghrib di Masjid Jami’, keberangkatan para santri di pesantren kami dimulai pukul setengah lima sore dan diakhiri dengan suara jaros yang terkadang dipukul jam lima, jam lima lewat lima menit, ataupun jam lima seperempat. Kegaduhan para santri yang awalnya begitu riuh menuju masjid, menjelang jaros dipukul, keriuhan tersebut semakin menjadi. Terutama para santri yang masih saja berada di asrama. Mereka bergegas berlari menuju masjid, entah sarung, peci, baju koko sudah sempurna terpakai atau belum.
Nah, saat jaros dipukul, density yang baru saja memuncak, dalam waktu singkat, berubah menjadi vacuum situation. Di depan masjid tak terdapat seorang santri pun yang masih berjalan menuju masjid, yang ada hanya para penegak disiplin berdiri bersama para muta’akkhirin (orang-orang yang terlambat).
Namun, yang menurut saya lebih menarik, adalah dari vacuum situation menuju density situation. Dan salah satunya, terjadi saat jaros pukul satu siang.
Menurut hukum organisasi, tidak ada santri yang boleh keluar dari rayon sebelum jaros jam satu siang. Mereka wajib berada di asrama masing-masing, menunggu jaros tersebut berdentang. Meski ada saja santri yang usil dan melanggar peraturan tersebut.
Karena kesibukan, para pengurus rayon memang tidak begitu mengindahkan disiplin tersebut, hanya penegak disiplin pusat saja yang memperhatikan. Jadilah para santri keluar rayon sebelum saatnya, mengendap di sekitar jalanan protokol, menunggu jaros berbunyi. Sebagian diantara mereka ada yang hendak cukur rambut, makan di dapur, mengurus pembayaran di kantor Admnistrasi hingga jajan di kantin. Mereka khawatir, jika terlambat menuju tempat-tempat tersebut, akan berdiri di antrian paling belakang.
Dan benar saja, saat jaros berbunyi, ratusan santri berhamburan keluar dari sudut-sudut pesantren. Mereka mempunyai kepentingan masing-masing, di tempatnya masing-masing pula. Karena sempitnya jalan, seringkali terjadi tabrakan yang tak diinginkan, hingga mengakibatkan beberapa piring pecah, ataupun luka-luka ringan. Meski bertabrakan, usai kejadian, tak ada tuntut ganti rugi ataupun perdebatan sengit mencari siapa yang salah, namun kedua belah pihak segera bangkit untuk berlari menuju tujuan masing-masing.
Dengan perubahan pergerakan ini, terjadi perubahan situasi dari kekosongan menuju kepadatan. Sekali lagi, perubahan ini terjadi dalam waktu yang sangat singkat, hitungan menit, bahkan detik. Ini mengingatkankan kepada cerita bibi saya selama hidup di negara Amerika Serikat, yakni tentang disiplin bermain air di pantai. Sebelum pukul sepuluh pagi, para wisatawan dilarang ‘menyentuh’air di pantai tersebut. Tanda diperbolehkannya adalah dengan suara sirine panjang. Tidak ada satupun wisatawan ataupun anak mereka yang menyentuh air sebelum sirine tersebut, karena memang security system belum berlaku sebelum jam sepuluh pagi. Saat sirine berbunyi, ratusan wisatawan tersebut langsung berlomba-lomba menuju air, tentunya dengan sistem penjagaan baywatch yang sudah siaga.

“Dinamis,” tampaknya itu kata yang tepat untuk sebuah peradaban ini, peradaban pesantren kami ini. Ada perubahan sistem, perubahan situasi yang ditandai dan diakhiri dengan jaros. Hingga kapanpun jaros akan selalu saja seperti itu, karena ia tak lekang oleh waktu. binhadjid

2 komentar: