Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, ‘Genta’
diartikan semacam alat bunyi-bunyian atau lonceng. Arti di kamus tersebut seringkali hanya ditafsirkan
sebagai suara penanda dengan perangkat listrik sekali tekan akan berbunyi,
seperti halnya di sekolah-sekolah modern ataupun kawasan pekerjaan umum. Pesantren
kami menyebutnya dengan jaros.
Namun, walau jaros diletakkan di tempat
umum, tak ada seorang pun santri yang berani menyentuhnya kecuali yang
bertugas. Seakan ada aura tersendiri saat kita berpapasan dengan jaros
yang tergantung di jalanan umum, karena memang jaros tersebut memiliki
nilai kesakralan tersendiri. Jika suatu saat berbunyi tak pada waktunya, para
punggawa pesantren kami akan bertanya-tanya, penegak disiplin akan meneliti,
hingga pada akhirnya, pelakunya akan mendapat hukuman setimpal.
Dari sekian banyak jaros yang menggema,
ada dua waktu jaros yang unik untuk dibahas. Salah satu jaros ini
mengakibatkan density (kepadatan) menjadi vacuum (kekosongan).
Dan sebaliknya, genta yang satu lagi mengakibatkan vacuum menjadi density.
Tiap hari menjelang jamaah shalat Maghrib di
Masjid Jami’, keberangkatan para santri di pesantren kami dimulai pukul
setengah lima sore dan diakhiri dengan suara jaros yang terkadang
dipukul jam lima, jam lima lewat lima menit, ataupun jam lima seperempat.
Kegaduhan para santri yang awalnya begitu riuh menuju masjid, menjelang jaros
dipukul, keriuhan tersebut semakin menjadi. Terutama para santri yang masih
saja berada di asrama. Mereka bergegas berlari menuju masjid, entah sarung,
peci, baju koko sudah sempurna terpakai atau belum.
Nah, saat jaros
dipukul, density yang baru saja memuncak, dalam waktu singkat, berubah
menjadi vacuum situation. Di depan masjid tak terdapat seorang santri
pun yang masih berjalan menuju masjid, yang ada hanya para penegak disiplin
berdiri bersama para muta’akkhirin (orang-orang yang terlambat).
Namun, yang menurut saya lebih menarik, adalah
dari vacuum situation menuju density situation. Dan salah
satunya, terjadi saat jaros pukul satu siang.
Menurut hukum organisasi, tidak ada santri
yang boleh keluar dari rayon sebelum jaros jam satu siang. Mereka wajib
berada di asrama masing-masing, menunggu jaros tersebut berdentang.
Meski ada saja santri yang usil dan melanggar peraturan tersebut.
Karena kesibukan, para pengurus rayon memang tidak begitu mengindahkan disiplin tersebut,
hanya penegak disiplin pusat saja yang memperhatikan. Jadilah para santri keluar
rayon sebelum saatnya, mengendap di sekitar jalanan protokol, menunggu jaros
berbunyi. Sebagian diantara mereka ada yang hendak cukur rambut, makan di
dapur, mengurus pembayaran di kantor Admnistrasi hingga jajan di kantin. Mereka
khawatir, jika terlambat menuju tempat-tempat tersebut, akan berdiri di antrian
paling belakang.
Dan benar saja, saat jaros berbunyi,
ratusan santri berhamburan keluar dari sudut-sudut pesantren. Mereka mempunyai
kepentingan masing-masing, di tempatnya masing-masing pula. Karena sempitnya
jalan, seringkali terjadi tabrakan yang tak diinginkan, hingga mengakibatkan
beberapa piring pecah, ataupun luka-luka ringan. Meski bertabrakan, usai
kejadian, tak ada tuntut ganti rugi ataupun perdebatan sengit mencari siapa
yang salah, namun kedua belah pihak segera bangkit untuk berlari menuju tujuan
masing-masing.
Dengan perubahan pergerakan ini, terjadi
perubahan situasi dari kekosongan menuju kepadatan. Sekali lagi, perubahan ini
terjadi dalam waktu yang sangat singkat, hitungan menit, bahkan detik. Ini mengingatkankan
kepada cerita bibi saya selama hidup di negara Amerika Serikat, yakni tentang
disiplin bermain air di pantai. Sebelum pukul sepuluh pagi, para wisatawan dilarang
‘menyentuh’air di pantai tersebut. Tanda diperbolehkannya adalah dengan suara
sirine panjang. Tidak ada satupun wisatawan ataupun anak mereka yang menyentuh
air sebelum sirine tersebut, karena memang security system belum berlaku
sebelum jam sepuluh pagi. Saat sirine berbunyi, ratusan wisatawan tersebut
langsung berlomba-lomba menuju air, tentunya dengan sistem penjagaan baywatch
yang sudah siaga.
“Dinamis,” tampaknya itu kata yang tepat untuk
sebuah peradaban ini, peradaban pesantren kami ini. Ada perubahan sistem,
perubahan situasi yang ditandai dan diakhiri dengan jaros. Hingga
kapanpun jaros akan selalu saja seperti itu, karena ia tak lekang oleh waktu. binhadjid
13 jempol wan Binhadjid, mantab. Lanjutkan!!
BalasHapusSiap pak ketua!!
Hapus