Sabtu, 04 Februari 2012

sistem ujian di gontor, (mungkin) tak ditemukan di dunia manapun


Ujian untuk belajar, bukan belajar untuk ujian. Nampaknya kalimat pantas menggambarkan suasana ujian di Pondok Modern Darussalam Gontor yang setidaknya terjadi 2 kali dalam setahun. Mengapa demikian? melihat fenomena dunia pendidikan di sekitar kita, bahwasanya orientasi mereka dalam menghadapi ujian hanyalah terpaku pada nilai, tak lebih. Kalaupun ada, selebihnya hanyalah pikiran ke depan tentang sekolah idaman mana yang akan mereka masuki setelah itu.

Menilik pada sistem ujian Diknas, ada sekumpulan kepala sekolah yang tampaknya tak mau anak didiknya banyak yang gagal dalam ujian. Ini sudah menjadi semacam ancaman tak tertulis, bahwa sekolah yang tingkat kelulusannya minim, akan dicopot kepala sekolahnya. Sehingga, para kepsek ini berpikir guna menempuh segala cara demi kelulusan peserta didiknya. Alhasil, banyak terjadi kecurangan dalam ujian. Guru pengawas kiriman dari sekolah lain, tampak sudah memahami sistem itu. Dengan koran, kopi maupun rokok, guru pengawas tampak nikmat menjalani pengawasan ujian tanpa perlu fokus terhadap peserta ujian."Boleh nyontek, asal jangan rame2". Kalaupun masih ada kasus sekolah yang tingkat kegagalan 90 persen, ini bukan disebabkan ketatnya pengawasan, namun salahnya kunci jawaban yang diberikan oleh pengawas ujian.
Inilah keadaan dunia akademia pada dewasa ini, disebabkan pemerintah yang menggembor-gemborkan nilai besar bagi tiap sekolah, akhirnya yang dipikirkan para guru, hanya bagaimana mendapatkan nilai itu, bukan ilmunya.


Apakah ini juga terjadi di Gontor? nampaknya tidak.

Meski kita tak merasa, nampaknya motto "ujian untuk belajar" sudah terpatri bukan di otak kita, melainkan dalam jiwa kita saat melaksanaanya segala kewajiban dalam ujian. Mengapa demikian? karena ujian di Gontor berlangsung cukup lama, ketat, panas serta dalam persaingan sengit. Tak hanya memusingkan para peserta ujian, namun dari Bapak pimpinan, jajaran direktur, guru hingga santri kelas 6 tak luput dari suasan ujian ini. Segala sistem dalam ujian, sudah disetting sedemikian rupa, sehingga menjadi pendidikan tersendiri bagi para pengawas. Pada intinya, ujian juga melatih kedisiplinan para pengawas hingga seluruh peserta ujian.
Selain itu, hal ini terlihat pada beberapa menit sebelum bel berbunyi. Betapa sulitnya memaksa anak untuk masuk ruang ujian, disebabkan anak-anak masih terpaku dan konsen terhadap bukunya masing-masing.

Dan satu lagi, di Gontor tak pernah ada pengumuman sepuluh besar nilai, kemudian di besar-besarkan, dan diberi semacam penghargaan atau hadiah. Ini memang banyak positifnya, tapi lebih banyak hal negatifnya. Ini membuat orientasi anak-anak hanya terpaku pada nilai, bukan pada ilmunya.

Jadi, salah apabila Diknas daerah mengancam kepsek untuk dicopot apabila nilai rata-rata kecil. Seharusnya, kepsek diancam pencopotan apabila banyak jam pelajaran yang kosong, buku-buku anak tidak lengkap, fasilitas tak memadai, ditemukan guru-guru yang tidak memberikan latihan atau PR di kelas, atau guru yang tak mengoreksi PR. Sekali lagi, bukan masalah nilai, tapi proses sistem pembelajaran sepanjang semester.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar